Kasak Kusuk Ganti Kurikulum Dan Kembalinya Cobaan Nasional

Komisi X dewan perwakilan rakyat menggelar rapat kerja dengan Mendikdasmen, Mendiktisaintek, dan Menbud. Rapat tersebut berhubungan dengan jadwal prioritas sampai menindaklanjuti isu-isu terkini.Mendikdasmen Abdul Mut’i dalam pertemuan dengan Komisi X dewan perwakilan rakyat (Foto: Agung Pambudhy)

Jakarta – Adagium ‘ganti menteri ganti kurikulum’ memang bukan sekadar slogan. Buktinya, belum usang kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bergeser terhadap Abdul Mut’i, kini berjulukan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, kasak kusuk pergeseran kurikulum dan pelaksanaan kembali Ujian Nasional (UN) sudah mulai kencang berembus. Bahkan di media biasa mulai beredar mengenai mengembalikan Ebtanas dan kurikulum usang selaku pengganti Kurikulum Merdeka.

Apakah setiap kali ganti menteri senantiasa identik dengan penilaian kebijakan menteri usang dan membanding-bandingkan dengan pendidikan masa lampau? Jika ide kembali pada metode pendidikan lama, baik kurikulum maupun ujiannya lantaran argumentasi yang dahulu lebih berkualitas, tentu hal tersebut menyediakan langkah mundur lantaran bisa menghalangi perkembangan dan inovasi pendidikan. Hal ini mempunyai potensi menangkal perkembangan penerima didik dalam hal kreativitas, pembiasaan teknologi, dan kolaborasi.

Sistem usang pastilah menyesuaikan berkembang kembang siswa sesuai masa itu. Siswa zaman dahulu condong berkonsentrasi pada hafalan dan metode pembelajaran satu arah yg kurang menstimulasi daya kebijaksanaan kritis dan kesanggupan problem-solving. Hal itu terjadi lantaran sumber informasi yg bisa memperkaya khazanah wawasan siswa masih terbatas. Paling sumber mencar ilmu dari guru, buku, dan media elektronik.

Advertisement

Berbeda pada kala Revolusi Industri 4.0 sekarang. Siswa bisa mencar ilmu apa saja dan dari mana saja. Sumber keterangan beraneka ragam, mulai dari internet, aplikasi, sampai kecerdasan buatan. Banyak, generasi kini yg bisa bahasa abnormal menggunakan channel Youtube. Belajar juga tak perlu lagi di sekolah atau wilayah tutorial belajar. Toh memakai banyak sekali aplikasi, menyerupai Ruang Guru, Zenius, dan lain-yang lain tidak kalah asyik dan menyenangkan.

Perkembangan ilmu wawasan dan teknologi niscaya beririsan dengan perubahan proses mencar ilmu dan mengajar generasi muda. Siswa dahulu dan kini mempunyai keperluan dan keunikan yang berlainan dalam proses mencar ilmu dan mengajar. Jauh sebelum sekarang, Ali bin Abi Tholib pernah berkata, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya lantaran mereka hidup bukan di zamanmu.”

Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2013 tidak sesuai lagi dipraktekkan pada kala sekarang. Bukan saja zaman sudah berubah, apalagi lagi abjad siswa sudah jauh berbeda. Kurikulum usang memutuskan patokan pengajaran yang kaku dan menciptakan guru sukar menyesuaikan materi dengan keperluan siswa. Akibatnya, siswa condong mencar ilmu buat cobaan tanpa betul-betul mengerti rancangan yang diajarkan.

Bank Global (2000) menyatakan bahwa kurikulum yg berorientasi pada hafalan condong menghalangi perkembangan kesanggupan berpikir kritis, alasannya siswa tidak diberi ruang untuk berpikir secara mandiri. Begitu juga dengan impian sebagian pihak kembali pada Ebtanas (Penilaian Belajar Termin Nasional) dan UN selaku nilai ukur capaian siswa pada selesai fase (SD, SMP, dan SMA) tentunya telah tidak berkaitan lagi.

Baik UN maupun Ebtanas terlalu berkonsentrasi pada nilai selesai sehingga siswa hanya berorientasi pada angka tanpa pengertian mendalam. Sebuah survei dari Forum Penelitian Pendidikan (2001) mendapatkan bahwa 60 persen siswa merasa frustasi menghadapi Ebtanas. Sedangkan UN lebih parah lagi, lantaran telah bukan diam-diam biasa buat memperoleh nilai UN yang tinggi, sekolah bersekongkol dengan Dinas Pendidikan mencari bocoran soal atau kunci jawaban.

Dr. Sugata Kawan, pakar pendidikan dari Newcastle University, menekankan pentingnya self-organized learning environment (SOLE) atau lingkungan mencar ilmu yg mendorong siswa mendapatkan respon sendiri dan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran (Mitra, 2013). Konsep ini sejalan dengan Kurikulum Merdeka, yang menitikberatkan pada pembelajaran berdikari dan berbasis proyek, membentuk siswa yang dapat berpikir kritis dan inovatif di luar ruang kelas .

Baca Juga : Kasak Kusuk Ganti Kurikulum Dan Kembalinya Cobaan Nasional 

Penyempurnaan Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka yaitu upaya signifikan buat mengadaptasi pendidikan Indonesia dengan permintaan terbaru yg membutuhkan siswa dengan kesanggupan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif (kemampuan 4C). Kurikulum Merdeka dirancang biar siswa lebih terlibat aktif dalam pembelajaran berbasis proyek yang kontekstual, memungkinkan mereka menyebarkan keahlian berpikir kritis dan memecahkan kendala dari pengalaman nyata.

Kurikulum Merdeka juga membuka kesempatan gres bagi metode penilaian yg lebih holistik, mengambil alih UN yang terlalu konsentrasi pada angka. Penghapusan UN memungkinkan adanya asesmen berbasis proyek yang tidak cuma menganggap kesanggupan kognitif, tetapi juga faktor sosial dan emosional siswa. Jika UN dikembalikan, dikhawatirkan siswa mulai kembali ke teladan mencar ilmu yg memprioritaskan hafalan dan hasil nilai cobaan semata, alih-alih menyebarkan keahlian yg berharga bagi kehidupan.

Penilaian kebijakan memang diperlukan, tetapi bukan untuk mengembalikan metode pendidikan ke masa kemudian yg terbukti sarat dengan kelemahan. Pendidikan Indonesia butuh fondasi yg mempunyai dampak buat bertumbuh dan menghadapi masa depan, bukan siklus penilaian tanpa arah yg menenteng kalian mundur.

Stabilitas kebijakan pendidikan diperlukan biar siswa, guru, dan sekolah sanggup menyesuaikan diri dan meningkat secara konsisten. Stabilitas merupakan kunci berhasil dalam pendidikan. Perubahan yang terlalu kadang pada kebijakan pendidikan menyebabkan kebingungan dan menghalangi perkembangan siswa serta guru. Finlandia sendiri menjaga kurikulumnya selama puluhan tahun, dengan konsentrasi pada kenaikan mutu pengajaran dan modifikasi metode yang berkelanjutan.

Kita menyetujui bahwa nilai-nilai dasar dari metode pendidikan usang tetap penting, metode dan pendekatan mesti terus diperbaharui biar pendidikan sanggup menciptakan lulusan yang kreatif, berpikir kritis, piawai berkomunikasi, dan simpel berkolaborasi pada kala global. Dan, itu seluruh tidak dapat ditemukan bila setiap ganti menteri ganti kebijakan, utamanya kurikulum. Semoga tidak!

 

Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Wacana Awardee Lpdp Tidak Mesti Balik Ri, Menko Pmk Pertanyakan Return Investasi

Next Post

Pemerintah Mau Tarik Utang Rp 9,9 T Ke Bank Dunia Bagi Rampungkan Kebijakan Ini

Advertisement